berpikir kreatif think out of box https://budiwe.com/tiga-pilihan/

Raport dan Ibuku

Raport dan Ibuku. Sejak aku SD, ibulah yang selalu mengambil raporku di sekolah. Dan aku selalu bergembira, bukan karena nilaiku di SD selalu bagus atau aku selalu juara di sekolah, namun karena apapun pencapaianku ibuku tak pernah marah. Waktu SD, ibu biasa berjalan kaki 2 KM dari rumah menuju SD Inpres tempatku sekolah. Saat aku SMP ibu tak lagi bisa berjalan kaki seperti kebiasaan selama 6 tahun itu. Bukan karena manja atau apa, namun jarak rumah dengan SMP tempat aku sekolah waktu itu lebih dari 12 KM, dan aku biasa menempuhnya dengan sepeda. Kebiasaan ibuku saat mengambil rapor tak pernah berubah. Selalu tersenyum pada wali kelasku dan selalu mengucap terima kasih pada Guru kelasku itu.

“Terima kasih ya Pak, Bu sudah mengajari Budi anak saya. Titip anak saya supaya pintar tidak seperti ibunya” kata ibuku dalam bahasa Jawa Halus (Kromo Inggil).

Kata-kata itu bagai mantra yang membuat seisi kelas tertawa. Ya teman-temanku dan beberapa orangtuanya mentertawakan keluguan ibuku. Ah…kalianpun pasti akan tertawa jika mendengarnya. Awalnya aku malu dan tak mau lagi raporku di ambil ibu, namun aku hanya punya ibu dan hanya ibulah satu-satunya orang yang mau repot-repot menempuh jarak jauh. Bapakku kerja di luar kota, tak pernah bisa meluangkan waktu untuk sekedar mengambil raporku. Maklum hanya buruh kecil di pabrik. Mau tak mau aku harus menahan malu hingga 3 tahun kedepan, hingga aku lulus SMP.

Namun rupanya, kebiasaan ibuku justru mendekatkanku dengan Guru kelasku. Tak jarang Guru kelasku sedikit memberi perhatian lebih kepadaku, dan lama-lama tak ada lagi tawa bernada menghina dari teman-temanku. Kebiasaan ibuku yang lainnya saat mengambil rapor adalah ibuku tidak akan pernah bicara hasil rapor saat disekolah walaupun ditanya oleh orangtua ataupun Guru yang lain. Ibuku selalu menjawab, “Alhamdulillah rapornya sudah saya ambil ini hasil terbaik anak lanang (anak lelaki) saya”

Namun sesampainya di rumah, ibu akan “presentasi” perolehan raporku. Raport dan ibuku seolah sedang berduet tampil di panggung presentasi. Baik ataupun buruk, ibu tetap akan presentasi dan tugasku adalah diam, mendengarkan dan mengamini rekomendasi yang dihasilkan dari presentasi ibuku itu.

Kebiasaan – kebiasaan ibuku itu tetap dibawa hingga aku SMA, dan sepertinya itu telah menjadi SOP ibuku dalam mengambil rapor. Saat kuliah ibuku tak lagi mengambilkan “rapor” untukku, hasil studi dikirim langsung dari bagian akademik kampus ke rumahku melalui jasa Pos. Rasanya sudah sangat lama sekali aku merindukan saat-saat seperti itu. Saat sudah bekerjapun aku seringkali merindukan ‘raporku’ diambil oleh ibuku. Rapor yang menceritakan perjalanan hidupku. Seperti saat sekarang ini, saat aku mengantri membagi rapor untuk siswa-siswaku. Aku membayangkan ibuku sedang mengantri rapor untukku. Kemudian ibuku menerima raporku, mengucapkan terima kasih pada Guru kelasku, dan memberi isyarat kepadaku untuk mengikuti beliau pulang.

Sesampainya di rumah, Raport dan ibuku memulai presentasi. Ternyata aku mendapat nilai merah untuk pelajaran melupakan. Tapi ibu tak marah, kata beliau: masa lalu itu bukan untuk dilupakan dari ingatan, tapi untuk diterima dalam kedamaian. Karena masa lalu itu telah menjadi bagian diri kita yang utuh. Kemudian ibuku menyampaikan rekomendasi yang harus aku lakukan: “Nak, engkau tak bisa mengubah masa lalu. Namun engkau bisa mengubah masa depan. Jangan menyesali masa lalu dan mencemaskan masa depan sehingga kita lalai mensyukuri anugerah hari ini. Pikirkan saja apa yang BAIK, kemudian lakukan yang TERBAIK dan serahkan pada Yang Maha BAIK, maka segalanya akan BAIK-BAIK saja.”

Nasihat yang selalu menghangatkan. Bersamamu, Ibu. Aku tak butuh lagi matahari.

1 thought on “Raport dan Ibuku”

Comments are closed.