Ambon Manise: Sepotong Hati Tertinggal di Sini

Ini kali kedua saya menginjak Ambon manise , tidak banyak yang berubah dari Ambon. Pagi Setibanya di Bandara saya sudah di jemput abang ojek yang dulu menjemput saya,ketika pertama kali ke Ambon. Bang Ferdy namanya. Abang yang satu ini asli Ambon dan mengenal kotanya dengan baik. Bak sudah kenal lama dengan saya, si abang mengantar ke penginapan yang dekat dengan Masjid Raya Al Fatah, masjid yang termegah di kota Ambon.

“Nah, mas Budi kalo mau ke masjid buat sholat tinggal jalan saja” katanya.

Satu hal yang saya syukuri, walaupun berbeda agama, bang Ferdy justru yang mengingatkan saya untuk tetap berjamaah. “Boleh jauh dari keluarga, tapi jangan Jauh dari Tuhan”

Bang Ferdy ini pula yang saya manfaatkan jasanya sebagai guide selama saya di Ambon.

Setelah menaruh barang di penginapan tujuan pertama kami adalah Pantai Natsepa! Pantai yang terkenal dengan rujaknya 😀 Ya, saya lebih mengenal pantai ini dengan rujaknya yang di jual di sepanjang jalan menuju pantai atau di pinggir pantai pasir putihnya. Sayang pantai masih sangat sepi ketika kami tiba di sana, maklum kami tiba pukul 08 kurang waktu setempat. Selepas menikmati pantai yang sepi, kami bertolak ke Patung Martha Christina Tiyahahu sekaligus melihat kota Ambon dari atas. Amboi memang indah kota Ambon Manise ini.

Menjelang siang, kami kembali menuju ke kota. Tujuan saya, saya ingin merasakan kuliner ikan Bakar di salah satu sudut jalan di kota Ambon. Saya agak lupa nama gangnya, kalau tak salah gang Arab. Di sepanjang jalan itu orang berjualan ikan bakar. Saya memilih warung milik Rudy Lombe, saya memilih warung ini dengan pertimbangan yang menurut saya agak konyol, yaitu: Warungnya tidak menyediakan bir seperti warung sebelah. Hahahahaa 😀

Di sinilah saya kembali menikmati ikan Lema bakar dengan colo-colo yang segar itu…

Selepas makan siang, saya dan bang Ferdy berpisah. Saya melanjutkan jalan ke masjid Al Fatah dan bang Ferdy pulang ke rumah.

Malamnya, gairah jalan-jalan saya masih menyala. Selepas menikmati ikan bakar (yang tak pernah bosan saya makan) saya berjalan menyusuri kota Ambon menuju Gong Perdamaian.

Gong Perdamaian terletak di depan Kantor Gubernur Maluku.

Gong ini merupakan Gong Perdamaian ke-35 di dunia yang berada di Taman Pelita, dekat di pusat kota Ambon. Gong megah dan besar ini berada di kota Ambon tujuannya ingin memperbaiki citra Ambon yang dulu pernah identik dengan kerusuhan dan kekerasan.

Untuk bisa masuk ke wilayah gong ini, Anda cukup merogoh kocek sekitar Rp 5.000.

Gong Perdamaian Dunia memiliki garis tengah seluas dua meter dan berwarna keemasan. Selain penuh dengan gambar bendera dari tiap negara, yang berjumlah sekitar 200 bendera, juga terdapat simbol tiap agama di dalam lingkarannya. Di tengahnya juga terdapat miniatur bumi dan bertuliskan ‘Gong Perdamaian Dunia’ pada bagian bawah, serta ‘World Peace Gong’ pada bagian atas lingkarannya.

Dengan di sangga dua pilar raksasa, di atas gong ini juga terdapat lambang Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia. Tak sedikit traveler berkunjung ke tempat ini untuk berfoto dan melihat kemegahan Gong Perdamaian Dunia dari dekat.

Gong Perdamaian tersebut adalah gong yang berasal dari desa Plajan, Mlonggo, Jepara, Jawa Tengah. Kopnon katanya Gong tersebut merupakan duplikat dari Gong yang dibuat oleh seorang wali 450 tahun yang lalu dan di gunakan untuk da’wah syiar Islam di lereng gunung muria. Gong Asli yang bernilai sakral tersebut adalah milik ibu Mursini, generasi ketujuh dari wali yang membuatnya. Sedangkan yang terpasang di Ambon Manise adalah buatan Djuyoto Suntani warga lereng Muria, Jawa Tengah untuk di jadikan gong perdamaian dunia. Sebagai satu-satunya sarana persaudaraan dan pemersatu umat manusia. Duplikat Gong Perdamaian Dunia telah di pasang secara permanen di China, India, Swiss, Helsinki (Finlandia), Maputo (Mozambik), Godollo (Hongaria).  Dan selanjutnya menyusul akan dipasang di gedung putih, Washington DC (Amerika), Caracas (Venezuela), Islamabad (Pakistan), London (Inggris), Berlin (Jerman), Paris (Perancis), Moskow (Rusia), Istanbul (Turki), Cape Town (Afsel), Madrid (Spanyol), Amsterdam (Belanda). Pada tahun 2015 renacananya akan ada di seluruh dunia termasuk satu unit Gong Perdamaian Dunia akan di pasang di bulan.

Dari Gong Perdamaian saya ke Lapangan kantor Gubernur, wah malam-malam banyak orang berolahraga disana. Ada juga yang memanfaatkan untuk…..pacaran! 😀

Capek berkeliling saya kembali ke penginapan, besok rencana memulai lagi petualangan di Ambon.

HARI KE-2

Tak disangka, di malam yang sama ketika saya berjalan-jalan ada kawan yang juga tiba di Ambon dari petualangan di pulau Buru. Kamipun janjian untuk sarapan pagi bersama, kali ini bukan ikan bakar. Kawan saya itu rindu masakan kampungya, jadilah kami mencari warung Coto Makasar. Selepas sarapan kami ngobrol di bawah patung Pattimura.

Patung Pattimura ini terletak di depan Kantor Gubernur Maluku, patung yang sekarang terbuat dari perunggu untuk mengganti patung lama. Konon ceritanya, patung yang lama tidak mau di pindah. Bahkan proses penggantian patungnya juga tidak semudah rencana. Konon kabarnya patung yang lama menangis ketika di turunkan untuk di ganti yang baru. Itu cerita yang kami dapatkan dari penduduk sekitar. Dari patung Pattimura, kami berpisah jalan.

Kawanku harus kembali ke Yogyakarta, sedang aku kembali berpetualang. Sesuai rencana, saya akan menyusuri pantai-pantai yang ada di Ambon, namun sebelum ke pantai saya ingin ke museum Siwalima terlebih dahulu.

Museum Siwalima adalah museum kelautan yang menyimpan aneka kekayaan laut Maluku dan juga sejarah dan budaya Maluku.

Dari Museum Siwalima, saya menuju ke Pantai Bethesda. Dinamakan pantai Bethesda, karena pantai ini di kelola oleh gereja Bethesda.

Pantai ini terkenal dengan lautnya yang jernih dan ‘ceburable’ alias mengundang orang untuk mencebur. Sayang, pantai ini belum di kelola dengan baik, sehingga pengunjung masih sedikit. Namun justru itu kelebihannya, pantai ini menjadi masih sangat alami. Setelah puas menikmati pantai Bethesda, saya menuju pantai Pintu Kota.

Pantai ini masih satu deret dengan pantai Bethesda. Bedanya, pantai pintu Kota terkenal dengan batu-batu karangnya. Disebut pantai pintu Kota, karena memiliki batu karang yang menyerupai pintu gerbang masuk kota. Sama seperti pantai Bethesda, pantai ini pun juga sedikit pengunjungnya. Namun hebatnya pengunjungnya justru orang-orang asing, bukan warga lokal Ambon Manise. Mereka tertarik untuk menyusuri batu karang dan goa-goa yang ada di sekitar pantai pintu kota. Pantai pintu Kota dapat juga dilihat dari atas bukit. Dari atas bukit ini kita bebas melihat ke laut lepas. Untuk naik ke atas bukit, terdapat anak tangga yang cukup untuk membuat “ngos-ngosan” orang yang jarang berolahraga seperti saya.

Tak bosannya saya menikmati udara dan suasana pantai yang segar, hingga rintik gerimis memaksaku untuk beranjak. Saya pulang ke penginapan dengan membawa Penyesalan