Ketika berkunjung ke Karaton Yogyakarta, saya melihat seluruh abdi dalem bertelanjang kaki. Ketika di tanya, kenapa betelanjang kaki? di jawab hanya Raja yang pantas beralas kaki. Saya jadi teringat kisah awal tentang Sandal Sang Raja.
Begini….
Alkisah suatu ketika seorang raja memutuskan untuk meninjau wilayah kerajaannya. Sang Raja memutuskan untuk berjalan kaki saja. Baru melangkah beberapa meter dari istana, kaki sang Raja tersebut tertusuk duri. Marahlah sang Raja, segera di panggillah seluruh pegawai Kerajaan dan sang Raja memerintahkan agar seluruh jalan di kerajaan di lapisi karpet dari kulit binatang. Seluruh pasukan bersiap untuk berburu, sebelum berangkat tiba-tiba penasihat kerajaan berbisik pada sang raja: “Maaf, baginda. Berapa binatang yang di bunuh? Bukankah lebih arif jika kaki baginda saja yang di bungkus kulit ? “
Sang Raja dengan kearifannya, terdiam dan sadar, kemudian memerintahkan pembatalan perburuan. Konon kabarnya, demikianlah asal mula di buatnya sandal kulit. Jadi sandal yang kita kenal saat ini berasal dari ide untuk membuat Sandal bagi Sang Raja. Serupa dengan kisah sandal kulit itu, begitulah yang sering terjadi pada kita. Kebanyakan dari kita, ingin memusnahkan hal-hal yang menjengkelkan dari luar. Ada karyawan yang yang ‘menjengkelkan’, maka kita sekuat tenaga berusaha menyingkirkan, ada rekan yang tidak sejalan kita anggap sebagai musuh yang harus di musnahkan. Seperti halnya kulit yang menutupi kaki sang Raja, kenapa kita tidak menutupi pikiran kita dengan kesadaran akan prasangka baik dan kesabaran ?