Saat ini kita hidup di era teknologi dan informasi, keberadaan sosial media telah menjadi bagian sehari hari dalam hidup kita, sehingga manusia tak lepas dari Sosial Media. Sehingga ada istilah: jika dulu manusia dikenal sebagai makhluk sosial, maka di masa sekarang manusia dikenal sebagai Makhluk Sosial Media. Keberadaan Sosial media yang tak bisa lepas dari kehidupan kita, memaksa kita harus pandai menyaring algoritma yang ada dalam sosial media.
Apakah Algoritma itu?
Pernahkah kawan kawan mendengar istilah Filter Bubble ? atau Echo Chamber ? atau Cyber Gheto ? Saya mendengar istilah tersebut sekitar tahun 2015. Terlambat sekitar 3 tahun sejak Eli Pariser memperkenalkan istilah Filter Bubble tersebut pada tahun 2011 melalui bukunya : The Filter Bubble: What The Internet is hiding From You.
Inti dari The Filter Bubble adalah bagaimana algoritma dalam internet menyaring dan memilihkan informasi untuk anda, jadi informasi yang tidak sesuai dengan pendapat kita akan disaring dan memunculkan gelembung filter tertentu.
Pernahkah kawans mengamati, jika kita sering browsing tentang mobil dan otomotif, maka iklan yang sering tampil dalam situs yang kita buka juga akan seputar mobil? Atau kita sering menggunakan Aps Traveloka untuk mencari hotel, maka iklan yang muncul di situs seringkali adalah iklan hotel. Meski situs yang kita buka tidak ada kaitan dengan hotel ? Itulah hasil kerja mesin algoritma.
Bagaimana Algoritma bekerja pada Sosial Media?
Menurut data dari KataData (2017), Sosial Media yang paling banyak penggunanya di Indonesia adalah Youtube, Facebook dan Whatsapp. Algoritma Youtube dan Facebook ini lebih ngeri lagi. Pernah dengar kebocoran data pengguna Facebook ? Nah…FB memiliki data detail profil penggunanya. Data detail profil pengguna ini yang akan menentukan News Feed apa yang akan muncul di beranda anda. Sudah ada gambaran ?
Jadi gini, jika anda sering like dan share status Jontor Sinting yang sering menyebar fitnah dan kebencian (bahkan anda pasang foto bareng Jontor dengan bangganya), anda juga berteman dan sering like, komen dan share dari teman teman yang juga menyukai Jontor Sinting, maka Algoritma mengambil simpulan anda hanya tertarik info dari Jontor Sinting dan makhluk sejenisnya. Sehingga News Feed anda hanya akan penuh oleh berita berita dan kabar model Jontor Sinting. Inilah Filter Bubble itu atau beberapa ahli menyebut sebagai Echo Chamber atau ruang Gema.
Pentingnya memilih Circle Pertemanan
Anda akan memasuki ruang yang isinya hanya berita berita yang seperti itu saja. Jika anda sering like dan komen status/berita yang isinya tentang keburukan Mulan Jameela, maka selamanya anda akan mendapat News Feed tentang keburukan yang berhubungan dengan Mulan Jameela. Jadi misal Kaka berteman dengan Bimbim dan Ridho. Kaka sering like, komen dan share status Bimbim mengacuhkan status Ridho. Bimbim berteman dengan Bunda Ifet, dan Bunda Ifet ini statusnya sama/sejenis dengan Bimbim. Maka News Feed yang tersaji di beranda Kaka justru status Bunda Ifet, bukan status Ridho meskipun Kaka belum berteman dengan Bunda Ifet. Algoritma jejaring social akan memastikan news feed yang muncul dari teman teman dekat si Bimbim , karena sering dishare, di like, atau di RT. Ini pula menjawab kalimat yang pernah disampaikan imam Ghazali: Jiwa itu ibarat burung, yang sejenis akan berkelompok, yang berbeda akan memisahkan diri.
Algoritma sosial media hanya memunculkan status postingan kelompoknya, karena interaksi mereka. Karenanya si Kaka jarang bahkan tidak pernah menjumpai opini opini yang berlawanan, ini yang membuatnya terisolasi di bubbles/gelembung ide kelompoknya sendiri. Karena internet menciptakan ruang gema (echo chamber) yang berputar di situ situ saja mengelilingi sebuah kelompok pengguna.
Apa efek negatifnya ?
Menciptakan pemahaman paling benar & bebal terhadap kritik. Karena selalu mendapat sodoran opini kelompoknya yang terus berulang ulang (bergema). Bukankah kebohongan yang selalu berulang ulang maka orang akan menganggapnya sebagai kebenaran ?
Efek negative lainnya akan menciptakan False-consensus effect. Karena ada kecenderungan selalu menerima informasi yang sesuai dengan pandangan mereka, atau berputar dalam bubble (gelembung) yang mereka ciptakan sendiri. Media sosial tidak lagi menjadi ruang ekspresi yang mengedepankan rasionalitas kritis hanya jadi ruang ekspresi untuk mencaci maki, menyerang dengan ungkapan kasar. Penilaian tidak pada logika, tapi berdasarkan suka atau tidak, Lama-kelamaan, seseorang semakin terisolasi dalam kelompok masing-masing di dunia maya sehingga memunculkan pandangan yang semakin ekstrem, yang bodoh akan semakin bodoh. Fenomena ini oleh Peter Dahlgren (2009) dalam Media and Political Engagement menyebut polarisasi akan mengembalikan netizen ke “cyberghettos“.
Bacaan Terkait: